Aku dan Bunga dalam Mimpi

Bunga Mimpi

Bunga Mimpi

Hamparan cakrawala di atas kota Innsbruck diam, tenggelam dalam kebekuan malam. Sekelompok bintang tertutup gerakan mega tebal yang menyisir pada dinding-dinding langit. Bulan menepikan wajahnya, sembunyi di antara barisan mega. Angin melantunkan irama khusyuknya. Dingin…, namun mengalir getaran yang mencekam.

            Suara ranting-ranting di atas tanah yang dipijak beradu dengan keheningan malam. Hembusan nafas yang hangat bercampur dengan suhu 5 derajat celcius pegunungan Alpen yang menusuk ke dalam tulang, dan ini bahkan belum masuk musim gugur. Seorang gadis dengan wajah sendu, rambut ikal berwarna merah dan kulit seputih salju menatap ke seliling. Dia berhenti sejenak, mengeluarkan kedua tangan yang sejak tadi dia masukkan ke dalam coat coklatnya, menggosok-gosok telapak tangannya dengan sedikit keras untuk mengurangi udara dingin yang terperangkap dalam pembuluh darah.

            Gadis dengan perawakan tinggi dan kurus itu mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan matanya tertuju pada batu besar di tepi danau  yang hanya berjarak lima meter darinya. Dia duduk dengan tenang dan sesekali melirik ke atas langit yang kelam tanpa bintang. Ya malam ini adalah bulan baru, sehingga kota Innsbruck yang terletak di antara 3 negara; Italia, Jerman dan Austria itu diselimuti dengan kegelapan yang kelam. Ketakutan bahkan tak tampak di wajahnya, hanya wajah excited yang ditunjukkannya, seperti tak sabar untuk bertemu seseorang. Dari kejauhan tampak seseorang dengan cahaya di tangannya –sepertinya itu sebuah senter- berjalan tak terlalu cepat ke arahnya. Perhatian gadis yang awalnya tengah melihat awan yang menutupi bintang teralihkan pada sosok yang sudah lama ingin ditemuinya. Senyumnya mengembang, dan dia berdiri dari duduk lalu melambaikan tangan pada orang yang dimaksud.

            “Ah, akhirnya kau datang juga Susan, Susan Morrice. Tak kusangka kau mau datang ke tempat ini. Kau membaca undanganku,’kan?” Tanya makhluk itu dengan senyumnya yang berkharisma sehingga mata birunya yang tajam terlihat sedikit menyipit. Dia mengulurkan tangannya yang besar dan menjabat tangan gadis yang dipanggil Susan itu. Dingin, namun sangat menghangatkan jiwa. Itulah yang bisa ditangkap Susan saat menjabat tangannya untuk pertama kali.

            “Tentu saja, Mr. Denis Waitley, kalau tidak membaca undangan itu kenapa aku bisa berdiri di hadapanmu saat ini?” jawab Susan dengan wajah tenang, namun tetap saja ekspresi kagumnya saat melihat Denis tak bisa ditutupi.

            Denis tertawa kecil. cahaya senter yang digenggamnya cukup terang untuk melihat mimik wajah Susan yang menurutnya sangat lucu. “Kau begitu ingin bertemu denganku ya sehingga wajahmu terlihat sangat mengagumiku?”

            Susan salah tingkah. Dia mengalihkan wajahnya ke arah lain lalu menjawab pertanyaan Denis dengan sedikit gugup, “Hanya.. Aku gak percaya, ternyata kita tidak hanya bertemu di mimpiku, namun kau bersedia untuk menemuiku di dunia nyata.”

            “Aku ‘kan bersedia keluar dari mimpimu untuk menemuimu. Semuanya kulakukan untukmu” jawab Denis tenang dengan suara rendahnya yang menggelitik telinga dan hati Susan, seperti suhu udara pada siang hari di musim semi yang menyejukkan hati.

            Susan tersenyum tulus lalu air wajahnya berubah serius, dia bertanya setengah mendesis, “Jadi.. Aku penasaran.. Kau ini sebenarnya makhluk apa?”

            Denis tertawa. Diam sebentar, lalu menjawab pertanyaan Susan, tetap dengan ekspresi yang sama, tenang, “Aku.. Malaikat pelindungmu. Aku akan datang di setiap kau membutuhkan pertolongan.”

****

            Sudah pukul 06.15 pagi waktu Innsbruck. Susan yang baru saja bangun dari tidurnya menuju kamar mandi merasa kakinya sangat lelah, seperti menempuh perjalanan yang sangat jauh. Susan meletakkan kedua tangannya mengelus pipinya yang tirus. Terasa dingin. Sedingin tangan Denis. Sedingin udara malam yang menantang pegunungan Alpen yang menjulang. Susan meraih handuknya yang tergantung tak terlalu tinggi di samping kamar mandi, berjalan menuju kamar mandi sambil berpikir, “Jadi yang tadi malam itu nyata…”

             Pikiran tentang Denis benar-benar memebuhi setiap celah saraf di dalam otaknya. Bahkan saat dia telah berada di depan gerbang sekolahnya sekalipun, dia tak bisa menyapu wajah Denis dari pikirannya. Susan berjalan seperti orang den